Candi Ijo, Candi yang Berada di Bukit Paling Tinggi di Prambanan
Candi Ijo, demikian nama candi yang berada di Desa Groyokan, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Sleman ini. Lokasinya, berada tak jauh dari obyek wisata populer, Tebing Breksi.
Untuk mencapai lokasi ini, Anda harus melewati jalan terjal menanjak. Beruntung, jalan menuju ke Candi Ijo sudah mulus menggunakan lapisan beton. Jadi, tidak akan menjadi masalah bagi kebanyakan pengendara. Catatan penulis, Anda harus pastikan rem kendaraan dalam kondisi prima, lantaran ini akan Anda gunakan saat menuruni jalanan.
Tentang Candi Ijo
Candi Ijo pertama kali ditemukan tanpa sengaja oleh seorang administratur pabrik gula sorogedug yang bernama H.E Doorepaal pada tahun 1886. Waktu itu ia sedang mencari lahan bagi penanaman tebu. Situs Candi Ijo yang terletak di bukit kapur ini menempati 11 teras dengan ketinggian berbeda-beda yang membujur dari barat ke timur.
Pada teras-teras tersebut ditempatkan 17 gugusan bangunan candi. Keseluruhan gugusan candi tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yakni bangunan beratap dan bangunan tidak beratap. Untuk bangunan yang tidak beratap ini diperkirakan sebagai sebuah bangunan dengan struktur kayu, karena di sana ditemukan sisa-sisa umpak batu.
Bangunan utama dari kompleks Candi Ijo ini berada di teras paling atas yakni teras 11 yang dijumpai 1 buah candi induk dengan 3 buah candi perwara yang terdapat di depan candi induk (sisi barat).
Pola percandian yang berteras-teras semakin meninggi ke belakang ini berbeda dengan pola-pola percandian yang berada di dataran Prambanan. Kebanyakan di antaranya adalah memusat ke tengah seperti yang terlihat di Candi Prambanan atau juga Candi Sewu. Hal ini didasari oleh konsep penataan ruang yang bersifat kosmis. Dengan pusat berupa puncak gunung Meru, tempat tinggal para Dewa. Adapun pola yang semakin meninggi ke belakang seperti halnya di Candi Ijo ini adalah sebuah keunikan. Karena pola semacam ini lebih banyak dijumpai pada candi-candi dari masa Jawa Timur.
Kitab-kitab India kuno meyebutkan bahwa pemilihan lokasi untuk didirikan suatu bangunan Kuil Dewa dinilai amat berharga, bahkan lebih utama dibanding dengan bangunan kuil itu sendiri. Di dalam kita kuno tersebut juga dinyatakan bahwa lahan atau tanah merupakan vastu atau tempat tinggal yang paling utama bagi Dewa. Lahan seperti ini biasanya adalah tanah yang subur dan tidak jauh dari mata air.
Di kawasan Prambanan, candi-candi yang dibangun dari abad ke 9 – 10 masehi menempati 2 tipe lahan yang berbeda yakni di dataran Prambanan dan dataran Sorogedug yang subur. Sedang tipe lahan yang kedua berada pada perbukitan sisi selatan dan batur Agung yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Selatan.
Untuk Candi Ijo sendiri berada pada sebuah puncak bukit kapur yang tidak subur dan merupakan situs dengan ketinggian dari permukaan laut paling tinggi dibandingkan situs-situs candi lain di kawasan Prambanan. Terlihat bahwa Candi Ijo menempati suatu lahan yang bukan teruntuk bagi Dewa, karena menempati tanah yang tidak subur dan jauh dari mata air.
Jadi untuk pemilihan lahan yang disarankan di dalam kitab kuno tidak sesuai kenyataan untuk Candi Ijo. Belum diperoleh kepastian interpretasi mengenai hal ini. Justru inilah yang membuat Candi Ijo menjadi menarik dan unik.
Tentang nama Candi Ijo
Penyebutan nama desa ‘Ijo’ kali pertama ditemukan dalam Prasasti Poh yang berasal dari tahun 906 masehi. Di dalam prasasti itu ditulis tentang seorang hadirin upacara yang berasal dari desa Wuang Hijo “… anak wanua i wuang hijo…”.
Jika benar demikian, maka nama ‘Ijo’ setidaknya telah berumur 1100 tahun hingga tahun 2006 lalu.
Upaya pelestarian Candi Ijo
Candi Ijo telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya berdasar pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 157/M/1998, tanggal 1 Juli 1998. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk melestarikan cagar budaya tersebut sesuai yang diamanatkan Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 200 tentang Cagar Budaya.
Upaya pelestarian tersebut di antaranya diwujudkan melalui kegiatan pemugaran. Pemugaran Candi Ijo telah dimulai pada tahun 1996 yakni diawali dengan pemugaran terhadap candi induk yang selesai pada tahun 1997. Hingga tahun 2019, kegiatan peugaran telah berhasil memugar 3 buah candi perwara (2000-2003), pagar terasa XI (2005-2009). Candi K dan Batur L (2011), talud teras XI (2012, 2013, 2016, 2019), Candi F (2015) dan pagar teras VIII (2017). Selain dilakukan pemugaran juga secara rutin dilakukan perawatan terhadap fisik bangunan melalui konservasi. Kegiatan konservasi tersebut dilakukan dengan melakukan pembersihan secara mekanis dan khemis.
Informasi ini diambil dari papan informasi Candi Ijo yang dikeluarkan BPCB DIY